Resume Buku Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi
Cover Depan - Dokumentasi Pribadi |
Cover Belakang - Dokumentasi Pribadi |
Penghimpun
dan Penyusun :Dr. Todung Mulya Lubis
dan Dr. Alexander Lay
Pengantar :Prof. Jimly
Asshiddiqie
Penerbit :Kompas, Jakarta
Cetakan :Pertama Januari
2009
Jumlah halaman :xxiv-456 halaman
Sumber buku :Perpustakaan
Mahkamah Konstitusi, Sumbangan No. Reg. 12214/MKRI-P/XI-2009
Pidana mati sejak dahulu selalu
mengundang perdebatan. Buku yang saya pilih ini mengupas pandangan Hakim
Konstitusi mengenai hukuman mati. Disini penyusun mengajukan Judicial Review
(JR) ke MK atas permohonan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
terhadap UUD 1945. Penulis adalah kuasa hukum dari empat orang pemohon, yakni
kasus Bali Nine, dengan terpidana Edith Yunita Sianturi (WNI), Rani
Andriani (WNI), Myuran Sukumaran (WNA Australia) dan Andrew Chan (WNA
Australia). Mereka berdua telah melalui proses hukum hingga akhirnya divonis
hukuman mati.
Perlu diketahui dalam permohonan No.
2-3/PUU-V/2007 (gabungan perkara No. 2/PUU-V/2007 dan No. 3/PUU-V/2007) ada dua permohonan uji materiil yang diajukan,
pertama mengenai segala ketentuan hukuman mati dalam UU No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika dan kedua,mengenai Pasal 51 Ayat (1) huruf (a) UU
No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menyatakan:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/ kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
...dst"
Sedangkan dua orang pemohon adalah
warga negara Australia, yang bertentangan dengan UU MK diatas. Pemohon
mengajukan agar UU Narkotika dan UU MK diuji dengan UUD 1945.
Menurut pemohon UU Narkotika yang
berkaitan dengan ketentuan hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28I
ayat (1) yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.”
Menurut pemohon juga UU MK Pasal 51
ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Buku ini terdiri dari enam bab, Bab
1 Pendahuluan, Bab 2 berisi Permohonan Pemohon,
Bab 3 berisi keterangan tertulis dari para ahli yang disampaikan selama
persidangan, Bab 4 Kesimpulan para Pemohon, Bab 5 berisi pertimbangan Mahkamah
Konstitusi (pendapat mayoritas) yang berpendapat bahwa hanya warga negara
Indonesia yang dapat bertindak sebagai pemohon Judicial Review dan
hukuman mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD
1945, Bab 6 berisi pendapat berbeda (dissenting opinion) dari sebagian
Hakim Konstitusi.
Bab 2 – Permohonan Pemohon
Inkonstitusionalitas Hukuman Mati
Perubahan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2000 melahirkan Bab XA yang secara
khusus mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Kelahiran bab ini mengangkat UUD
1945 sejajar dengan konstitusi negara-negara lain dalam hal penghormatan
terhadap hak asasi manusia.
Pasal 28A UUD 1945 menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupanya.”
Terlebih lagi pasal 28I ayat (1)
menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. Kelahiran pasal tersebut seharusnya merupakan
lonceng kematian bagi hukuman mati di Indonesia. Namun perdebatan masih
berlangsung.
Argumen pemohon didasarkan pada
prinsip bahwa Konstitusi adalah hukum tertinggi (the supreme law of the
land). Dan apabila ditemukan peraturan perundang-undangan dibawahnya yang
bertentangan maka ketentuan tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Penyusun mengutip juga pendapat
Cesare Beccaria pada 1764 dalam bukunya berjudul On Crimes and Punishment
sebagai berikut:
“Capital punishment, was both inhumane and ineffective: an
unacceptable weapon for modern enlightened state to employ, and less effectife
than certainty of imprisonment. Furthermore, that capital punishment was
counterproductive if the purpose of law was to impart a moral conception of the
duties of citizens to each other. For, if the state were to resort to killing
in order to enforce Its will, it would legitimize the very behavior which the
law of sought to repress, namely the use of deadly force to settle disputes.”
Pembunuhan banyak terjadi dan masih
akan terus terjadi. Penjatuhan hukuman mati oleh negara akan memberi
justifikasi terhadap serangkaian tindak pembunuhan yang dilakukan orang-orang
partikelir. Jadi teori balas dendam mendapat legitimasi, an eye for an eye.
Untuk teori pemidanaan teori ini sudah dianggap ketinggalan zaman, dan tujuan
pemidanaan di Indonesia juga sebetulnya bukanlah balas dendam tetapi
rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi ke masyarakat. Terpidana diberi
fasilitas dan dituntut untuk memperbaiki diri mereka.
Negara Terbanyak Menerapkan Hukuman Mati - Sumber :Amnesti Internasional |
Sebagai bagian dari komunita
internasional dan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia
seharusnya sejak awal menghapuskan hukuman mati karena secara etis dan
organisatoris Indonesia harus tunduk pada Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) yang dalam pasal 3 menyatakan:
“Everyone has the right of life, liberty and security of person”
Indonesia juga sudah meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dalam pasal 6 (1)
berbunyi:
“Every human
being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No
one shall be arbitraly deprived of his life.”
Memang, ICCPR masih memiliki ruang
untuk hukuman mati terutama di negara-negara yang masih menjatuhkan hukuman
mati pada the most serious crimes, terutama yang berkaitan dengan
kejahatan genosida. Hanya saja kalau pasal 6 ICCPR dibaca secara keseluruhan
kita akan melihat bahwa hak untuk hidup adalah semangat yang utama dan harus
terus dihormati.
Dewasa ini berdasarkan Amnesty
International, 28 Oktober 2006 jumlah negara yang termasuk dalam
kategori abolisionis terhadap hukuman mati sudah mencapai angka 129 dengan
perincian 88 negara yang abolisionis untuk semua tindakan kejahatan (abolitionist
for all crime), 11 negara untuk kejahatan biasa (abolitionist for
ordinary crimes only) namun negara tersebut masih memberlakukan hukuman
mati untuk kejahatan luar biasa, dan 30 negara yang telah menghapus hukuman
mati dalam praktinya (abolitionist in practice) namun belum secara resmi
menghapus hukuman mati. Bandingkan dengan negara retensionis (masih
mempertahankan hukuman mati) yang berjumlah 68 negara. Statistik ini menunjukan
bahwa kecenderungan peradaban dunia sekarang ini adalah menghargai hak untuk
hidup diatas hak-hak lain, terutama sehubungan dengan hubungan mati.
Data diatas merupakan indikasi yang
sangat kuat bahwa dunia internasional menghendaki agar hukuman mati dihapuskan
dari sister hukum negara-negara di dunia. Seyogyanya Indonesia juga
mempertimbangkan fakta tersebut.
Selanjutnya penyusun mengaggap bahwa
hukuman mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan di Indonesia. Sebabnya
antara lain sebagai berikut:
- Bangsa Indonesia menjunjung tinggi HAM, termasuk didalamnya adalah hak-hak para terpidana. Berkaitan dengan itu, timbul hak-hak baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan (retributive), tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi social bagi pelaku tindak pidana.
- Sistem yang menekankan pada unsus “balas dendam” tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi social. Dua konsep diatas bertujuan agar narapidana menyadari kesalahanya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan.
- Filosofi pemidaan berdasarkan pembalasan tersebut tidak lagi menjadi acuan utama di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh MK dalam Putusan 013/PUU-I/2003: “Bahwa asas non-retroaktif lebih mengacu kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari system pemidanaan di negara kita yang lebih merujuk kepada asas preventif dan edukatif.”
- Menurut pendapat Prof. Andi Hamzah, SH., didalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia (dari Retribusike Reformasi), halaman 15-16: “Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai kini telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan… Tujuan yang dipandang kuno ialah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution),… Yang dipandang tujuan berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk: penjeraan (deterrent), …; perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang tersebut terakhir yang paling modern dan populer dewasa ini. Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum”
Bab 3 – Kontroversi di Kalangan
Pakar
Penyusun mencantumkan beberapa
pendapat pakar berdasarkan keterangan tertulisnya di persidangan, pakar – pakar
tersebut antara lain:
- Prof. William A. Schabas, OC MRIA
- Prof. Jeffrey Fagan
- Prof. Philip Alston
- Prof. Dr. JE Sahetapy, SH., MA.
- Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH.
- Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, SH., MH.
- Prof. Dr. M. Arief Amrullah, SH., M.Hum.
- Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum.
Bab 4 – Hak Hidup Hak Paling Asasi
Bab ini berisi kesimpulan para
Pemohon, Edith Yunita Sianturi, dkk. yang disampaikan setelah pemeriksaan para
Ahli selesai.
Bab 5 – Putusan Mahkamah Konstitusi:
Hukuman Mati Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
Sebelum menyatakan pendirianya,
Mahkamah Konstitusi menimbang beberapa hal-hal berikut:
a.
Dalam
hubunganya dengan isu pidana mati, keadilan yang ditegakkan atas hukum
senantiasa dibuat dari berbagai perspektif, yaitu perspektif pidana, pidana
mati itu sendiri, kejahatan yang dijatuhi pidana mati, pelaku kejahatan yang
dijatuhi pidana mati, dan tidak kalah penting adalah perspektif korban,
keluarga korban. Oleh karena itu berbicara tentang pidana mati tidaklah adil
apabila pertimbangan hanya difokuskan pada perspektif pidana mati dan orang
yang dihukum mati, dengan mengabaikan hal lain diatas.
b.
Dalam
kaitanya dengan permohonan a quo, tampak nyata bahwa seluruh dalil
Pemohon dibangun atas argumentasi dari perspektif hak untuk hidup (right to
life) dari terpidana mati. Kelemahan yang tak mudah dielakkan dari
pandangan demikian ialah
i)
Pandangan
tersebut akan dipahami sebagai pandangan yang menisbikan, bahkan menihilkan
kualitas sifat jahat atau kejahatan yang diancam pidana mati. Padahal kejahatan
yang dijatuhi pidana mati adalah pidana yang secara langsung maupun tidak
langsung menyeran hak untuk hidup (right to life) dan hak katas
kehidupan.
ii)
Muncul
pertanyaan bagaimanakah penjelasan yang dapat diterima akal sehat dan rasa
keadilan bahwa hak hidup pelaku kejahatan pembunuhan berencana, pelaku
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan terorisme, harus
dimutlakkan dengan mengabaikan hak untuk hidup korban kejahatan – kejahatan
diatas.
iii)
Dengan
tetap menghargai pendirian mereka yang menentang pidana mati, seperti pendapat
Cesare Beccaria, sebagaimana dikutip pemohon. Pendapat tersebut belum menjawab
pertanyaan bagaimanakah memulihkan kepedihan hati dari suatu anggota keluarga
yang kehilangan salah seorang anggota keluarganya yang telah menjadi korban
tindak kejahatan diatas.
Dengan berlindung dibalik argument restorative justice yang
memandang pelaku kejahatan (terpidana mati tersebut) sebagai “orang sakit yang
perlu disembuhkan”, pandangan ini mengabaikan fakta bahwa setiap kejahatan
(apakah mala in se atau mala in prohibita) adalah serangan
terhadap harmoni sosial masyarakat yang mengakibatkan “luka” berupa disharmoni
sosial. Semakin tinggi kualitas kejahatan semakin tinggi pula disharmoni sosial
yang timbul.
Pertanyaanya adalah mungkinkah disharmoni sosial dalam masyarakat
dipulihkan hanya dengan me-restorasi pelaku. Maka hukuman pidana yang
dijatuhkan kepada pelaku kejahatan harus dilihat sebagai upaya mengembalikan
harmoni sosial.
Keadilan baru dirasakan apabila harmoni sosial telah dipulihkan.
Artinya yang membutuhkan upaya restoratif adalah masyarakat yang harmoni
sosialnya terganggu.
Beberapa Pendapat Mahkamah
Konstitusi
a.
Bahwa
menurut sejarah pembentukan pasal 28I UUD 1945 berdasarkan keterangan Lukman
Hakim Saifuddin yang merupakan mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, menerangkan bahwa
yang melatar belakangi Bab XA (Bab Hak Asasi Manusia) adalah Ketetapan MPR
XVII/MPR/1998, dan dari TAP MPR tersebut lahirlah UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya sama-sama menganut bahwa hak asasi
manusia bukan tanpa batas.
b.
Dilihat
dari sejarah konstitusionalism di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam
konstitusi yang pernah berlaku yakni
i)
UUD
1945 (sebelum perubahan),
ii)
Konstitusi
RIS 1949,
iii)
UUDS
1950 dan
iv)
UUD
1945 (sesudah perubahan),
Juga tampak
adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti
dalam hal-hal tertentu hak asasi manusia dapat dibatasi oleh Undang-undang.
c.
Bukti
lain yang menunjukkan ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), dapat
ditemukan dalam instrument hukum internasional yang berkaitan dengan hak asasi
manusia, diantaranya:
i)
International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pasal
6 Ayat (2).
ii)
Protocol
Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims
of International Armed Conflict, Pasal 76 Ayat
(3).
iii)
Protocol
Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims
of International Armed Conflict, Pasal 6 Ayat (4).
iv)
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms (European Convention on Human Rights), Pasal 2 Ayat (2).
v)
American Convention on Human Rights, Pasal 4.
Ketentuan-ketentuan
diatas dalam berbagai instrument hukum internasional menunjukan bahwa hukuman
mati masih dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan atau pembatasan yang
ditentukan.
Konklusi
Menimbang bahwa berdasarkan uraian
diatas, Mahkamah berpendapat:
a.
Para
Pemohon yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki kedudukan hukum (legal
standing), sedangkan para pemohon yang berkewarganegaraan asing tidak
mempunyai kedudukan hukum.
b.
Pemohon
III dan IV yang berkewarganegaraan asing, tidak memiliki kedudukan hukum,
sehingga permohonan para Pemohon a quo, tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
c.
Ketentuan
pasal yang dimohonkan dalam UU Narkotika sepanjang mengenai pidana mati tidak
bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945, sehingga
permohonan pengujian pasal-pasal a quo tidak beralasa dan oleh karena
itu permohonan para pemohon harus ditolak.
Mengadili
a.
Menyatakan
permohonan Pemohon I dan II dalam perkara No. 2/PUU-V/2007 ditolak untuk
seluruhnya.
b.
Menyatakan
permohonan Pemohon III dan IV dalam perkara No. 2/PUU-V/2007 tidak dapat diterima.
c.
Menyatakan
permohonan Perkara No. 3/PUU-V/2007 tidak dapat diterima.
Bab 6 – Pendapat Berbeda Hakim
Konstitusi
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
ini, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting
opinion).
a.
Hakim
Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum Pemohon warga negara
asing.
b.
H.
Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan.
c.
HM
Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai
kedudukan hukum maupun Pokok Permohonan.
…
Demikian resume dari buku “Kontroversi
Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi” ini, besar harapanya apabila
resume ini bermanfaat paling tidak untuk diri saya sendiri terlebih bagi para
pembaca sekalian.
Saya tidak memungkiri ada beberapa
kesalahan penulisan atau ketidaktepatan kata-kata karena resume ini saya buat
se-objektif mungkin dengan kemampuan saya, bagi yang ingin tahu lebih lanjut
terkait putusan ini dapat klik disini, langsung tersambung ke resume putusan No.
2/PUU-V/2007 dan No. 3/PUU-V/2007 resmi dari Mahkamah Konstitusi.
Menarik, bermanfaat sekali Mas Beryl, terutama untuk yg gk sempat baca bukunya bisa menjadi tahu isinya, bukan dari latar belakang hukum sy dapat poinnya meskipun tidak 100%, hee.
BalasHapusOiya, apa berarti Indonesia sekarang masih menerapkan hukuman mati Mas Beryl ?
Terimakasih, tetep terus ngirim yg beginian Mas, Top 👍
Terimakasih apresiasinya Lion Arsya.😁😁😁
HapusBenar Indonesia masih menerapkan hukuman mati, tercantum di UU Narkotika
Kendati demikian terdapat kriteria tertentu hingga terdakwa dapat dijatuhi hukuman mati, sehingga tidak semua tindak pidana dapat dijatuhi hukuman mati.
Semoga menjawab pertanyaan antum😊😊😊