Teriakan yang Tak Terdengar


Ponorogo - Sabtu, 11 Maret 2017

Lama mager mengisi blog usang ini, kali ini saya hendak bercerita pengalaman malam minggu saya dengan seorang teman sekamar yang kebetulan juga satu kelas dan satu kampus.

Tidak biasa pukul 22.30 wib saya keluar kampus untuk sekedar cari cemilan. Ditemani teman sekamar yang memang sama-sama hobi makan malam (benar-benar larut malam) dan sebuah motor sewaan yang entah cukup atau tidak bensinya kita melewati pos yang dijaga oleh satpam yang akrab dengan kami mahasiswa santri, seketika dia bertanya “arep nyandi to mas?“ kita spontan menjawab “nggolek susu jahe pak”, dengan senyuman kita melalui pos tersebut. Melewati jalan siman sampai kota Ponorogo ada yang agak aneh dimata saya, yaps, keramaian malam Kota Ponorogo yang jarang saya lihat dan saya baru tersadar bahwa ini malam minggu, yang menurut pendapat beberapa teman saya adalah malam yang cocok untuk keluar bagi kawula muda.



Dengan tujuan mencari cemilan dan susu jahe hangat kami memilih angkringan yang kira-kira memiliki banyak pilihan gorengan dan terjangkau harganya, karena memang dompet kami para mahasiswa ini tidak ramah jika belum diisi ulang. Beberapa angkringan kami lewati sepanjang jalan kota, ada yang ramai dengan kendaraan, ada yang terang, remang-remang, bahkan ada pula yang hanya diterangi oleh lampu minyak. 

Berdasarkan pengalaman dan referensi Zakky sang penikmat kuliner, kami menghentikan sepeda motor kami di sebuah angkringan tak jauh dari perempatan Hotel Gadjah Mada. Ibu penjual menyapa kami dengan ramah, lalu kami mengambil piring dan memilih beberapa gorengan untuk dipanggang dengan siraman bumbu sate khas Ponorogo. Sembari menunggu gorengan tersebut dipanggang kami duduk disamping gerobak angkringan tersebut, dan memperhatikan percakapan si ibu dengan seorang lelaki berumur 55 tahunan membawa tas dagangan berisi sate keong yang duduk tak jauh dari kami.

Lambat laun kami tahu lelaki tersebut adalah seorang bapak dengan tiga orang anak yang duduk di bangku SMA, SMP dan SD. Waktu menunjukan pukul 23.00 wib namun saya melihat tas dagangan yang ia bawa masih penuh berisi sate keong. Setelah melalui percakapan yang tak terlalu panjang si ibu tadi mengambil uang dari dompet dan laci gerobaknya lalu diberikanlah uang tersebut ke bapak tadi, ditambah lagi se-kresek tempe goreng tepung diberikan juga ke bapak berjenggot putih tadi. Bapak tersebut pamit dan mengucapkan terima kasih kepada ibu pemilik angkringan lalu pergi untuk lanjut menjual daganganya.

Seketika saya bertanya “griyane pundi bu?” si ibu menjawab sebuah daerah di Ponorogo yang saya ngga tau dimana letaknya namun dari nada dan raut wajahnya saya menebak tempatnya cukup jauh dari sini. Si ibu pun bercerita bahwa bapak tadi telah ditinggal pergi istrinya, dan tak kembali, disebabkan faktor ekonomi sejak lama. Begitupun anak sulung bapak tadi yang juga berencana minggat dari rumah karena tak tahan dengan kondisi ekonomi keluarga. Sehari-hari mereka hanya mampu membeli sayur seharga Rp 3000 setiap harinya, ditambah nasi seharga Rp 3000 juga dan kalau ada sisa dibelikan tahu seharga Rp 2000. Itu kalo ada uang, kalo ndak ada ya ditahan mas, kata ibu tadi. Dengan keadaan tadi si bapak tetap semangat mencari nafkah agar anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah. 

Sembari si ibu bercerita saya memperhatikan kondisinya, kata si ibu ia membuka angkringan ini pukul lima sore, setiap harinya dan tutup tak tentu, kadang jam duabelas, kadang jam satu malam. Ibu ini tinggal di daerah Jeruksing tak jauh dari gerobak angkringan miliknya. Namun jika saya perhatikan kondisi ekonomi ibu ini tak jauh beda dari bapak tadi. Dan yang saya kagum si ibu masih sempat memberi sebagian uangnya ditambah se-kantong gorengan ke bapak tadi dengan senyuman ikhlas di wajahnya.

Saya sadar bahwa mencari nafkah itu bukan hal mudah, perlu kita mengorbankan banyak hal bahkan yang mungkin benar-benar kita butuhkan.  Bersedekah disaat lapang harta sangatlah mudah, namun sebaliknya bersedekah dalam keadaan sempit itu hanya sebagian orang yang dapat melakukanya, yang salah satunya ibu pemilik angkringan ini.

Setelah pesanan kami selesai ditambah susu jahe hangat, si ibu memberi kami sebungkus es teh manis secara cuma-cuma dan berpesan “ati-ati dijalan mas”. Saya hanya bisa tersenyum dan mengucap terimakasih melihat ibu pemilik angkringan tadi. Semoga Allah melancarkan rizki dua orang yang saya temui ini dan semoga mereka selalu dalam perlindungan-Nya. 

Terkadang dalam melewati proses pen-dewasa-an diri kita perlu mendengar curahan hati mereka, agar hati ini selalu ingat bahwa banyak saudara kita diluar sana yang benar-benar berjuang mencari sesuap nasi.

Komentar

Postingan Populer