Jajanan Si Nenek #TeriakanTakTerdengar

Ilustrasi (Sumber Google)

Baru saja membaca blog tetangga yang cukup dekat dengan saya, dan jujur saja saya banyak belajar dari penulis ini, bisa dikepo-in di setiawanparusa.wordpress.com. Ada hashtag menarik di blog beliau yang menarik yakni #petuahjalanan, yang ingin saya tiru dan poles sedikit.

Tulisan kali ini tak beda jauh dengan tulisan sebelumnya, bercerita mengenai kehidupan yang mungkin tak semua orang melihatnya. Bukan kali pertama saya melihat nenek-nenek menggendong tempat berbentuk seperti ember namun dari anyaman bambu (saya kurang tau apa namanya), kalau dirumah saya biasa digunakan untuk ibu-ibu penjual jamu gendong. Kembali ke nenek tadi, hampir tiap kali saya ada keperluan ke Kota Ponorogo kerap kali saya menemui nenek membawa gendongan tersebut. Hal ini membuat saya penasaran dan muncul banyak tanya di benak saya, apa yang dijualnya, dapat untung berapa, rumahnya dimana.


Satu waktu saya membeli saddle sepeda di jalan yang menurut saya terkenal dikalangan kami para santri, karena memang letaknya dekat dengan  La Tansa Department Store (silahkan di googling bagi yang belum tau), kebetulan rekan saya menunggu diluar toko sepeda tadi, dan ditawari jajanan oleh seorang nenek berumur kira-kira 65 tahun, dan hampir seluruh rambut putih menutupi kepalanya dengan membawa gendonganya dengan seutas selendang kusut berwarna biru, mengenakan pakaian khas jawa bercorak batik tanpa alas kaki.

Teman saya menanyakan barang dagangan si mbah "nopo niku mbah?", si mbah mengeluarkan barang daganganya ternyata ada beberapa bungkus kripik tempe dan beberapa sisir pisang segar berwarna kuning. Si mbah menawarkan kripik tadi seharga delapan ribu rupiah saja, tentu harga yang menurut saya tak setimpal dengan tenaga yang dikeluarkan si mbah ini. Hal yang lebih mengagetkan saya lagi adalah kripik tempe yang nenek ini jual bukan miliknya namun ia mengambil dari produsen lain, dan keuntungan yang didapat tak lebih dari dua ribu rupiah saja per bungkusnya.

Sungguh memilukan ditengah perkembangan masyarakat Ponorogo, satu hal yang saya lihat masih terlalu dipaksakan disini, yakni munculnya mall maupun pasar-pasar modern secara masif. Menurut saya dengan kondisi masyarakat disini belum siap menerima kehadiran pasar-pasar modern (minimarket, supermarket, dsb) karena memang secara sosiologis masyarakat masih cenderung mengunjungi pasar tradisional sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Memang benar jika pengunjung mall cukup banyak, namun kata "banyak" itu tak mewakili keseluruhan masyarakat disini.

Disinilah pentingnya peran pemerintah dalam menentukan kebijakan yang mengatur pasar tradisional dan pasar modern, agar komposisi keduanya cocok dengan kondisi sosiologis masyarakat. Bayangkan saja jika si nenek tadi masuk ke mall dengan kondisi pakaian seperti tadi dan memasuki mall untuk menjajakan daganganya tentu ini hal yang aneh, dan bisa-bisa mengundang bagian keamanan mall.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer