Resume Buku: Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah

Judul Buku                              :Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah

Penulis                                     :Ajip Rosidi

Penerbit                                   :PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta

Cetakan                                   :Kedua Februari 2011

Jumlah halaman                      :471 halaman

Sumber buku                           :Perpustakaan Mahkamah Konstitusi, No. Reg. 21211/MKRI-P/VII-2011 – Hadiah dari Prof. Laica Marzuki, SH

Sjafruddin Prawiranegara salah satu tokoh penting dalam pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Tepatnya pada 19 Desember 1948 tercapai kesepakatan antara Mr. Sjafruddin Prawiranegara dengan Mr. Teuku Muhammad Hasan dan mereka berdua menjadi Ketua dan Wakilnya.

Sebelum diputuskan bahwa Bukittinggi menjadi pusat Pemerintah Darurat RI banyak aksi heroik, menegangkan yang menurut saya perlu kita ketahui.

Pada Juni 1948 perundingan antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Belanda yang membicarakan pelaksanaan Persetujuan Renville menemui jalan buntu. Nota yang dibuat oleh KTN yang berisi usul tentang cara-cara mempercepat proses perundingan ditolak oleh Belanda. Sementara itu terjadi pemberontakan PKI di Madiun.

Pada Juni 1948 perundingan antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Belanda yang membicarakan pelaksanaan Persetujuan Renville menemui jalan buntu. Nota yang dibuat oleh KTN yang berisi usul tentang cara-cara mempercepat proses perundingan ditolak oleh Belanda. Sementara itu terjadi pemberontakan PKI di Madiun.
US Ship Renville yang merapat di Tanjung Priok Sumber : Google

Suasana Perundingan Renville terlihat Agus Salim sebagai perwakilan Indonesia (peci hitam kiri)
Setelah itu usul Merle Cochran salah seorang anggota KTN dari Amerika Serikat pada Oktober 1948 mula-mula diterima, namun disamping itu terdapat petunjuk-petunjuk bahwa pihak Belanda hendak melancarkan agresi militer kembali.
Horace Merle Cochran - Dubes AS untuk Indonesia dan penengah di Perjanjian Renville - Sumber: Wikipedia 
Menghadapi situasi demikian pucuk pimpinan pemerintahan mengadakan pertemuan yang dihadiri Presiden Sukarno, Wapres/ Perdana Menteri Muhammad Hatta, Panglima Besar Angkatan Perang Jenderal Sudirman, Letnan Jenderal Oerip Sumhardjo, Komodor Udara Suryadarma, Kolonel Hidayat dan Kolonel Simatupang, untuk membahas langkah yang akan diambil apabila Belanda benar-benar melakukan aksi militer.

Pada masa itu perkiraanya adalah Belanda akan melakukan agresi militer di Jawa yang sulit dipertahankan, maka ada kemungkinan bahwa Sumatera akan dijadikan pusat pemerintahan.

Pertimbanganya adalah wilayah Sumatera lebih luas dari pulau Jawad an sebagian besar masih merupakan hutan rimba yang tidak terjangkau manusia. Sungguh daereah ideal untuk melakukan aktivitas gerilya.  Lebih-lebih daerah pedalaman Aceh direncanakan akan menjadi tempat kedudukan Pemerintah Pusat, karena sejak dulu merupakan daerah yang sulit ditundukan oleh Belanda. Terlebih lagi adalah Aceh merupakan daerah yang berada d ujung Indonesia sehingga mudah berhubungan dengan radio dengan luar negeri terutama dengan India yang sudah menyatakan dukunganya terhadap perjuangan bangsa Indonesia.

Maka atas permintaan Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mr. Teuku Mohammad Hasan, pada pertengahan November 1948, Wapres/ PM Mohammad Hatta berangkat ke Bukittinggi untuk mempersiapkan Sumatera sebagai pusat pemerintahan dan juga untuk melerai pertikaian antara Mayor Bedjo dan Mayor Malau di Tapanuli.

Keberangkatan itu disertai pembesar militer dan sipil diantaranya adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Loekman Hakim, Rusli Rahim, Kolonel Hidajat, Letkol Akil Prawiradiredja, dan lain-lain berangkat dari Maguwo, Yogyakarta, berangkat jam 8 pagi menggunakan pesawat yang dipinjam KTN dan tiba di Gadut, Bukittinggi pukul 2 siang.

Maka aksi militer Belanda benar terjadi tepatnya pada 19 Desember 1948 jam 5.30 pagi Kota Yogyakarta diserang, diawali dengan pendudukan lapangan terbang Maguwo. Sebelum itu terjadi pembatalan sepihak Perjanjian Renville oleh Belanda pada 18 Desember yang baru diumumkan pukul 11.30 malam harinya.

Tentu pihak Belanda sengaja melakukan itu supaya penyerangan ke Yogyakarta mengejutkan. Aparat intel TNI saat itu memang belum tanggap dan teliti mengukuti perkembangan sikap dan gerakan militer Belanda. Maka ketika serangan datang TNI tidak siap menghadapinya, bahkan pasukan-pasukan TNI ketika itu sedang melakukan latihan peperangan diluar kota Yogyakarta.
Agresi Militer Belanda 1 di Yogyakarta - Sumber: Wikipedia
Dalam situasi genting ini Wapres/ PM Muhammad Hatta masih sempat mengadakan siding cabinet di Kepresidenan dihadiri oleh Presiden Sukarni, Menlu H. Agus Salim, Men. Pekerjaan Umum Ir. Laoh, Men. Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Mr. Ali Sastroamidjojo, Kol. Simatupang, WaKa Staf Angkatan Perang, Komodor Udara Suryadarma, Penasihat Presiden Sutan Sjahrir, Kepala Sekretariat Presiden Mr. AG. Pringgodirdjo. Siding cabinet ini menghasilkan tiga poin yakni:
a. Presiden dan Wapres akan tetap tinggal didalam kota, dengan pertimbangan keamanan keduanya tidak terjamin lagi untuk pergi keluar kota, karena pasukan pengawal yang dibutuhkan satu batalyon tidak tersedia.

b. Wapres/ PM menganjurkan supaya tentara dan rakyat melaksanakan perang gerilya terhadap tentara Belanda.

c. Presiden dan Wapres mengirimkan kawat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran di Bukittinggi bahwa dia diangkat sementara untuk membentuk Pemerintah Darurat, membentuk cabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.
Ada dua kawat yang dukurumkan oleh Presiden dan Wapres kala itu. Pertama ditujukan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan kedua ditujukan kepada AA Maramis di New Delhi. Kawat pertama berbunyi sebagai berikut:

Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan pada hari Minggu 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda telah memulai serangnnya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menhalankan kewajibanya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Republik Indonesia Darurat di Sumatera.

Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden (Sukarno)

Wakil Presiden (Mohammad Hatta)


Kawat kedua ialah kepada AA. Maramis di New Delhi sebagai berikut:

Alexander Andries Maramis
Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan pada hari Minggu 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda telah memulai serangnnya atas Ibukota Yogyakarta. Jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada Saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Mr. SjafruddinPrawiranegara di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.

Yogyakarta, 19 Desember 1948

Presiden (Sukarno)
Wakil Presiden (Mohammad Hatta)

Menurut Muhammad Hatta dipilihnya Sjafruddin Prawiranegara ialah dengan pertimbangan dia anggota cabinet paling cakap dan paling cepat bergerak. Pada waktu itu usia Sjafruddin baru 37 tahun, usia yang relative sangat muda jika dibandingkan dengan jabatan dan tanggungjawab yang harus dipikulnya.

Salah satu sasaran Belanda menyerang Ibukota Yogyakarta ialah memusnahkan kantor radio dan telekomunikasi, sehingga telegram itu tidak pernah sampai ke si alamat dan Presiden Sukarno atau Muhammad Natsir (Menteri Penerangan) tak mampu untuk memberi penjelasan kepada rakyat.
Kawat/ Telegraf alat komunikasi yang digunakan ketika itu - Sumber Google
Disaat yang sama Belanda menyerang Bukittinggi karena merupakan ibukota Provinsi Sumatera. Dikarenakan Mr. Sjafruddin Prawiranegara belum menerima kabar dari Yogyakarta dan tersebar kabar bahwa Presiden dan Wapres tertangkap Belanda, meskipun ia tidak mempercayainya karena disiarkan oleh radio luar negeri secara berulang-ulang, maka Sjafruddin memutuskan untuk keluar kota menghindari penangkapan tentara Belanda. 

Menuju perkebunan the Halaban, 15 kilometer di Selatan Payakumbuh. Disitulah diadakan pertemuan membicarakan pembentukan Pemerinahan Darurat Republik Indonesia yang dihadiri, Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Teuku Muhammad Hasan, Residen Sumatera Tengah Sutan Muhammad Rasjid, Komisaris Negara Urusan Keuangan Lukman Hakim, Koordinator Perhubungan untuk Sumatera Indratjahja, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum Sumatera Mananti Sitompul, Kolonel Laut Adam, Mr. Abdul Karim yang ketika itu menjadi direktur BNI, Kepala Jawatan Koperasi Pusat Rusli Rahim, Koordinator Kementrian Kemakmuran untuk Sumatera Abdul Latief, Komisaris Besar Poloso Umar Said, Kolonel Udara H. Soejono, dan beberapa orang staf dari jawatan tersebut, antara lain Idris Batangtaris ajudan Sjafruddin.
Kantor PDRI - Sumber: Google

Kantor PDRI - Sumber: Google
Setelah mendengar keadaan Bukittinggi dari Residen SM. Rasjid maka pembicaraan difokuskan pada pembentukan Pemerintahan Darurat. Dikarenakan jatuhnya Yogyakarta ditangan Belanda maka sampai pada waktu itu yang hadir dalam pertemuan tidak ada yang tahu bahwa Presiden dan Wapres sudah mengirimkan kawat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang memberikan kuasa untuk membentuk Pemerintahan Darurat.

Maka kesepakatan yang disetujui bersama untuk membentuk Pemerintahan Darurat semata-mata diasaskan kepada kesadaran dan tanggungjawab mereka terhadap perjuangan bangsa agar jangan sampai ada kekosongan pemerintahan sesuai kehendak Belanda.

Maka dipilihlah Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara dan Wakil Ketua Teuku Mohammad Hasan. Istilah yang dipakai ketua padahal tanggungjawabnya ialah Presiden yang merangkap Perdana Menteri. Ia tidak mau menggunakan istilah yang secara hukum harus disandangnya walaupun ia tahu bahwa kedudukan “ketua” tidak dikenal dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Mozaik Sjafruddin Prawiranegara - Sumber Tirto.id

Tigapuluh tahun kemudian, dalam surat kabar Pelita dimuat wawancara dengan Sjafruddin Prawiranegara tertanggal 6 Desember 1978. Berhubungan dengan pemakaian istilah ketua, ia menerangkan:

“Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden Republik Indonesia tetapi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia? Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui adanya mandate Presiden Sukarno, dank arena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati… Tetapi andai kata saya tahu tentang adanya mandate tadi, niscaya saya akan menggunakan istilah “Presiden Republik Indonesia” untuk menunjukan pangkat dan jabatan saya… Dengan istilah Ketua PDRI sebenarnya saya seorang Presiden Republik Indonesia dengan segala kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh UUD 1945 dan diperkuat oleh mandate Presiden Sukarno dan Wapres Muhammad Hatta, yang pada waktu itu tidak dapat bertindak sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”



Menurut saya cukup sampai diatas tulisan yang membahas sejarah pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi. Selanjutnya saya ingin mencantumkan kecerdasan dan luasnya pengetahuan Sjafruddin Prawiranegara.

Teratat dalam sejarah Sjafruddin sempat dipenjara di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jalan Budi Utomo, Jakarta. Ia rajin beribadah bersama tahanan muslim lainya, bahkan sering diberi keesmpatan mengisi khutbah jumat, disampng Muhammad Natsir, Moh. Isa Anshary, EZ Muttaqien, M. Yunan Nasution, Sholeh Iskandar dll.

Selama kira-kira satu setengah tahun sampai bulan Frbruari 1965 ia mendapat kesempatan menjadi khotib mencapai 22 kali.

Materi khutbahnya sempat diterbitkan dengan judul “Kebebasan Sesungguhnya” 1966, dan empat buah khutbah lainya dengan judul “Ringkasan Ceramah tentang Kebebasan, Ilmu dan Agama (1970).

Salah satu materi khutbahnya menjelaskan rasa takut pada manusia. Kata Sjafruddin:

Barangsiapa mencuri, menipu, membunuh pendek kata barangsiapa melanggar hukum dan dengan demikian merampas atau melanggar hak orang lain atau hak masyarakat, maka dia membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan demikian ia membahayakan dirinya dan keluarganya. Kalau dalam suatu masyarakat terdapat banyak penipuan, pancurian, dan pembunuhan maka akhirnya tidak ada lagi orang yang merasa dirinya aman, termasuk para penipu, pencuri dan pembunuh.”

Kemudian ia mengutip surat An Nisa 29 yang menggambarkan bahwa masyarakat itu merupakan kesatuan yang meskipun terdiri dari individu-individu tetapi hubungan mereka begitu rapat, sehingga kalau yang satu merugikan yang lain, dia sesungguhnya merugikan diri sendiri. Dengan demikian kepentingan diri sendiri atau pribadi itu hanya dapat terpelihara dengan baik, kalau masyarakat tempat kita hidup pun terpelihara dengan sebaik-baiknya. Untuk mencapai hal itu maka anggtota masyarakat harus menjalankan kewajibanya sebaik-baiknya.

Disamping itu ia juga menyebut tentang rasa sedih yang bersumber dari rasa takut akan hidup, sehingga menimbulkan rasa kurang dan iri hati atau dengki, yang dapat mendorong kepada perbuatan jahat.

Mozaik Kabinet PDRI - Sumber Tirto.id
Dengki inilah yang menjadi motor Marxisme, yaitu ideology yang telah membagi manusia menjai kelas-kelas kapitais dan proletar. Pengikut Marxis dan komunisme menggolongkan dirinya kepada kelas proletar dan mendendam kepada kelas kapitalis. Seakan-akan ada garis yang jelas dan tetap. Padahal garis tersebut tidak bersifat prinsipil, dan setiap orang termasuk proletar adalah calon kapitalis jika keadaan memungkinkan.

Setiap manusia mempunyai rasa takut dan sedih, taka da yang luput dari keduanya. Namun ada orang yang dapat mengendalikan perasaan tersebut dan ada yang tidak. Hidup bebas berarti bebas daripada rasa takut dan sedih, atau lebih tepat dapat mengendalikanya.

Dalam khutbahnya ia menambahkan

Pada hakikatnya rasa takut dan sedih tersebut merupakan motor bagi aktifitas dan perbuatan manusia. Tanpa motor itu manusia tidak akan dapat bergerak dan tidak akan berusaha. 

Dalam khutbah berikutnya Sjafruddin mengemukakakn pentingnya manusia membersihkan jiwanya, karena tiap manusia memiliki nilai dan tugas sendiri terhadap Allah SWT yang menciptakanya. Dengan mengemukakan kutipan pendapat dari sarjana kenamaan sepertiLecomte du Nouy, Sjafruddin membantah pendapat yang mengatakan mansia hidup itu hanya suatu kebetulan (chance) belaka. Bagi Sjafruddin segala sesuatu bukan secara kebetulan, melainkantelah diciptakan-Nya berdasarkan suatu hukum yang teliti.

Selanjutnya Sjafruddin menjelaskan tentang “akal biasa” dan “akal mulia”. Akal biasa adalah tempat persembunyian bagi setan yang senantiasa mencoaba menggoda keimanan dan takwa kepada Allah SWT dengan hanya percaya akan segala hal yang ditangkap pancaindera.

Berbeda dengan “akal mulia” yang tidak hanya menyandarkan pada pancaindera Sjafruddin mengajak para jama’ah mencari kebenaran juga dengan pada perasaan, ilham atau intuisi.

Sjafruddin juga membantah pendapat Immanuel Kant bahwa manusia dapat membayangkan atau memahamkan sesuatu yang tidak mesti ada. Demikianlah kalau manusia membayangkan tentang adanya Tuhan yang sempurna, tidaklah mesti Tuhan itu ada.

Kata Sjafruddin lebih lanjut, paham tentang Tuhan atau Allah tidak mungkin timbul dari akal biasa, sebab Dia tidak dapat dilihat, dan dirasakan oleh panca indera yang menjadi alat pemberitaan kebenaran bagi akal biasa. Oleh karena itu paham tentang Allah itu mesti diilhamkan kedalam pengertian manusia oleh Allah sendiri. Sehingga barangsiapa menolak adanya Tuhan semata-mata karena Dia tidak dapat disaksikan oleh pancaindera, menunjukan kepada suatu kementahan berpikir yang menggelikan.

Sjafruddin juga berpendapat bahwa ajaran yang terkandung didalam Al Quran memperlihatkan sumber asalnya diluar alam biasa. Segala larangan amar ma’ruf nahyi munkar tidaklah mungkin diciptakan ileh akal biasa manusia, karena akal cenderung kepada segala sesuatu yang menguntungkan diri sendiri.

Meskipun Kant menyatakan bahwa Kategorische Imperative-nya senapas dengan perintah amar ma’ruf nahyi munkar dan dapat diketahuinya tanpa memerlukan wahyu. Namun menurut Sjafruddin Kant mengenal Kategorische Imperative itu karena sebelumnya dia mengenal ajaran-ajaran Kristen yang jelas bersumber dari wahyu Allah juga, yaitu Injil. Dengan demikian Kant sebenarnya melakukan plagiat (pencurian).

Tanpa mengenal ajaran agama Kristen untuk menyayangi dan berbuat baik terhadap sesame manusia dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat, mustahil akal Kant bisa menciptakan Kategorische Imperative. 

Demikian khotbah Sjafruddin yang tidak mencoba membuktikan bahwa Islam dan ayat-ayat Al Quran cocok dengan ilmu modern seperti banyak dilakukan ulama apologetic, melainkan dengan menunjukan kelemahan-kelemahan dan keterbatasan-keterbatasan ilmu modern berdasarkan hasil pemikiran dan penelitian para sarjana modern sendiri.

Hal ini dapat dilakukan karena Sjafruddin mengenal dengan baik filsafat barat dan mengikuti pula perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir.

Terakhir mengenai keberanian beliau masa Orde Baru. Khotbah Sjafruddin terkenal berisi kritik terhadap pemerintah, maka sering terjadi panitia penyelenggara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas membatalkan khutbahnya.

Ada pendapat menarik dari Sjafruddin mengenai rasa takut yang perlu kita teladani, tepatnya pada 1977 ia ditanya oleh salah seorang kerabat dari Aceh, apakah bapak tidak merasa takut?

Sjafruddin menjawab kira-kira begini:

Kalau saya sering mengkritik pemerintah bukan artinya saya tidak mengenal rasa takut. Saya takut kepada Presiden Suharto, kepada Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, tapi saya lebih takut lagi kepada Allah SWT. Kita ditugaskan oleh Allah untuk memberi ingat kepada kebenaran. Saya menganggap diri saya sebagai seorang pemberi ingat, maka saya atasi ketakutan saya untuk melakukanya. Lagipula dalam meberi ingat itu saya berpegang teguh kepada firman Allah dalam Al Quran surat An Nahl 125, yang mengharuskan memberi nasihat dan seruan dengan bijaksana dan dengan baik. Saua melakukanya didasari kasih sayang. Saya tidak menyimpan rasa benci sedikitpun baik terhadap Presiden Sukarno maupun terhadap Laksamana Sudomo, atau terhadap pejabat yang lain.”

Sebagai ahli hukum, Sjafruddin memang selalu berusaha untuk merumuskan kritiknya terhadap penguasa sedemikian rupa sehingga tidak mudah dituduh melanggar sesuati pasal Hukum Pidana atau Undang-undang Antisubversi. Lagipula ceramah atau khutbah Sjafruddin walaupun mengandung kritik, baik terhadap penguasa ataupun orang atau lembaga swasta senantiasa didorong oleh rasa sayang terhadap yang bersangkutan dan rasa tanggungjawab terhadap Allah, bukan rasa benci atau dendam. 

Komentar

Postingan Populer